30DBC #05 - Proudest Moment


Assalamu’alaikum.

Hellow. It’s the fifth day of 30 Days Blogging Challenge. Temanya adalah “your proudest moment”. Yeah. Let’s jump in!

Oke. Momen termembanggakanku selama 20 tahun hidup adalah…..

Sebenarnya banyak sih. My proudest would be… waktu aku lolos SBMPTN di S1 Gizi UGM and ketika aku keluar dari S1 Gizi UGM alias melalui sidang skripsi dan wisuda. Karena aku sudah menceritakan kelolosanku waktu SBMPTN dan aku tidak ingin disclose tentang sidang dan wisuda terlalu banyak, aku akan memilih momen unik tapi cukup membanggakan. Well, setidaknya, “I’m proud of myself”. Wkwk.

Prolog dulu lah.

Sejak TK, aku bersekolah di lokasi yang tidak jauh dari rumah. Paling lama 5 menit nyampe pake kendaraan bermotor. Despite of that, perjalananku ke sekolah biasa dianter ibu/bapak atau naik mobil jemputan. Lebih sering naik mobil jemputan sih. Bisa keliling-keliling ke kompleks lain, bercengkrama dengan teman-teman semobil jemputan, dan sambal menunggu penumpang lengkap, aku suka bertukar kertas binder pas SD. Wkwk. At least I remember that moment. Bukan itu yang membanggakan tapi.

Ketika SMA, aku bersekolah di lokasi yang dapat ditempuh selama 15 menit perjalanan, belum termasuk macet. Remember that Bekasi is pretty macet? Aku biasa berangkat jam 6 kurang seperempat atau jam 6 supaya terhindar dari macet yang parah itu. I was a hardcore early bird back then. Sekarang tetep early bird tapi biasa aja. Waktu SMA, pastinya tidak ada mobil jemputan wkwk. Kebanyakan temanku sudah bisa mengendarai motor. Banyak juga sih yang naik ojek, masih ada juga yang dianter jemput seperti aku.

Singkat cerita, aku tentu ingin belajar motor. Tapi naik sepeda aja gakbisa wkwk.

But no negativity. Niatnya kudu kuat dulu, ye gak?

Jadi, buat belajar mengendarai motor, tentunya aku butuh motor dan tentor.

Tentor sudah ada, Dad. Dan motor juga sudah ada. Tapi, aku pengen belajar naik sepeda dulu.

This is sort of a kinda embarrassing confession, but I rode sepeda roda tiga waktu belajar naik sepeda. What’s the point ya? Wkwk. That’s my story.

Belajar naik motor menjadi pengalaman yang lucu, sekaligus memalukan, buat diriku pribadi. Alhamdulillah, aku belum pernah kecelakaan motor yang parah gitu.

Jatoh pertamaku (dari motor) adalah (untungnya) masih di kompleks perumahanku. Tapi bukan berarti gak ada orang juga. Waktu itu, aku udah bisa naik motor sendiri (tanpa Dad), dan aku keliling kompleks. Jadi, kompleks perumahanku itu terdiri dari sub-sub kompleks (bingung gak?). Aku berlatih di kompleks, sementara rumahku ada di sub kompleks. Jalannya besar, nggak ada rumah. Tapi ada sekolahku :))))

Aku berada di jalan itu, sudah sampai di ujung, dan aku harus memutar balik untuk kembali ke rumah. Normally, putar baliknya bisa memanfaatkan bunderan yang cukup besar. Tapi entah kenapa, aku malah muter balik sebelum bunderan. Which is, kita perlu ngerem dan mengendari dengan kecepatan rendah, mengingat bahwa “track”nya pendek.

Odongnya, aku malah ngegas. Bukan ngerem. LOL. You can guess what happened next. Aku ngegas sampe naik ke pedestrian (it was not actually a pedestrian space, itu berumput, tapi anggep aja tempatnya pedestrian karena posisinya lebih tinggi dari jalan). Dan aku jatuh. Ada bapak penjual minuman di dekat situ kemudian berlari untuk menolongku. I was perfectly fine actually, well, physically. Mentally? No. Aku malu. Wkwk. But I felt really blessed, karena ada orang yang bisa membantu aku untuk mengembalikan motor ke posisi semula.

Sek, kok jadi cerita pengalaman konyol begini. Ada porsinya sendiri deh.

Intinya, aku belajar motor sejak SMA. Dan baru bisa properly naik motor pas kuliah semester 2.

Nah, dari pengalaman berkendara motor ini, my proudest moments would be two.

Pertama adalah ketika aku bisa naik motor di jalan raya. Waktu itu aku nekat ke kampus bawa motor sendiri, tanpa bilang bapak ibu kalau aku mau ke kampus. Bilangnya sih cuman “mau latihan lagi”. Pulang-pulang aku cerita ke ibu dengan senyum lebar menghiasi wajahku. Ohiya, jarak rumah ke kampus sekitar 15 menit, melewati dua lampu merah, hampir sama seperti ketika aku di Bekasi. Bedanya, di Jogja nggak saingan sama angkot.

Kedua adalah ketika aku bisa mengendarai motor ke luar Jogja. This is a definition of “I’m proud of myself” in unique kind of concept. Tiga tahun setelah aku properly bisa naik motor, aku mengendarai motor ke Solo (2 jam dari Jogja) dan memboncengi temanku. Itu bolak-balik aku yang nyetir, nggak gentian, soalnya temenku gak bisa naik motor. Dan itu PP dalam satu hari. Setahun kemudian, aku mengendarai motor ke Temanggung (2-2,5 jam dari Jogja). Kali itu aku juga boncengin orang, tapi pas berangkatnya doang. Pas pulangnya sempet gantian. Tenang aja, I drove safely, pake helm, motor aman, bensin aman.

There’s this happy feeling when I passed through the borders (of each district). Sedikit konyol, tapi itu merupakan achievement yang membuatku senang.

By the way, itu perjalanannya dilakukan bukan buat liburan tapi karena ada urusan. Jadi ada asas “need” juga, tidak hanya “menantang diri” untuk mencari refreshment.

So, that’s it. I cannot believe momentsnya cuman dua paragraf tapi prolognya lebih dari 5 paragraf. Well, this is a perk of not writing so long, tidak bikin outline, and yeah.

Thank you for reading. See you on the next post!

Wassalam

Comments