Meteor

Selamat sore, Mentari.

Sudah lelah menyinari tanah ini hari ini? Tapi kau tak akan pernah lelah menyinari seluruh penjuru bumi, bukan?

Setelah sekian lama tak menyembul di balik awan sepertimu, kini aku muncul bak hujan meteor yang hanya datang 760 tahun sekali. Tiba-tiba.

Dengan segerombol emosi yang telah berkumpul sejak sekian lama. Tapi, ah, aku tidak akan pernah tau perasaanmu, Mentari. Kau yang selalu setia menghangatkan bumi. Kau yang senantiasa memberikan cahayamu bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Aku tidak akan pernah tau, Mentari.

Mentari, tau kah kau?

Hari ini, meteor ini telah mengalami sesuatu. Ia meluncur menghiasi langit. Meluncur laksana hujan. Deras.

Mentari, tau kah kau?

Hari ini, aku melakukan sesuatu. Sesuatu yang normal bagi orang lain. Tapi tidak bagiku.


Aku memanggang kue hari ini, Mentari. Bukankah itu suatu hal yang normal? Terlebih lagi, dalam hitungan hari akan menjadi hari yang ditunggu-tunggu para muslim dan muslimah di dunia. Bukan kah memanggang kue hal yang normal? Bukan kah memakan kue hasil panggangan sendiri adalah hal yang sangat menyenangkan?

Tapi, tau kah kau, Mentari? Hari ini, aku memanggang kue.

Walaupun berawal dari ketidaksengajaan. Sesuatu yang tidak aku kehendaki sebelumnya. Namun aku dengan senang hati dan tekun melaksanakannya.

Tapi, tau kah kau, Mentari? Aku tidak setekun itu.

Awalnya, aku dengan teliti menimbang semua bahan. Terigu, gula, mentega, telur. Bahkan sejumput vanili pun kutakar dengan rapih. Semuanya kuaduk dengan alat sesuai prosedur. Adonan yang dihasilkan pun terlihat menjanjikan. Lembut. Indah. Terlihat manis. Namun, aku tidak bisa merasakannya. Belum.

Mentari, kau tau aku pasti senang saat membuat kue.

Meletakan adonannya dalam plastik, kemudian menyemprotnya dengan hati-hati di atas loyang. Dengan hati-hati. Perlahan namun pasti.

Namun, tau kah kau, Mentari? Kesalahan itu pun terbit.

Dengan bersemangat aku meletakan loyang ke dalam oven. Tentunya dengan suhu dan waktu yang sudah diatur. Awalnya, aku dengan senang menunggu. Melihat bagaimana kue itu mengembang dengan indahnya.

Namun, tau kah kau, Mentari? Aku lalai.

Dengan bodohnya, aku meninggalkan oven yang panasnya tak tentu itu, membakar kue-kue yang sesungguhnya indah. Dengan polosnya, aku meninggalkan kue-kue tersebut, tanpa tau aku harus terus melihatnya. Apakah kue itu baik-baik saja? Apakah kue itu sudah matang di dalamnya?

Aku terlalu thoughtless untuk memikirkan itu semua.

Mentari, aku kecewa pada diriku sendiri.

Bukan aku yang menyadari bahwa kue-kue itu sudah gosong. Bukan aku yang terus menemani kue-kue itu mengembang dan matang. Ah, pahit rasanya.

Mentari, tau kah kau?

Kembali aku membuat kue tersebut. Kembali aku menata rapih adonan di atas loyang. Kembali aku meletakkan loyang ke dalam oven dengan hati-hati. Kemudian menutup pintu oven.

Ah, aku teledor. Kembali pula aku melakukan kesalahan yang sama.

Mentari, tau kah kau betapa terpukulnya diriku?

Lucu memang. Hanya memanggang kue. Kecewa sedalam palung.

Comments

  1. Postingannya bagus :))

    Btw kamu kena tag Liebster Award, cek dan ambil awardnya disini >> http://www.khoirinaannisa.com/2014/10/liebster-award-gak-ada-matinya.html
    thank you ^^

    ReplyDelete

Post a Comment

Coretan atau catatan kecil dari kamu akan sangat berarti buat penulis. Terimakasih :)